Monday, November 15, 2010

Teo-logi

















Charles Spurgeon adalah pengkhotbah tersohor abad ke-19. Di sebuah website yang didedikasikan baginya terdapat pernyataan seperti ini: “Jika di Amerika ada D. L. Moody, maka di Inggris ada Charles Spurgeon.” Sejak berumur 19 tahun Spurgeon telah berkhotbah kepada orang banyak. Ada catatan yang mengatakan bahwa ia pernah berkhotbah di hadapan 24,000 orang. Ketika Gereja Metropolitan Tabernacle berdiri, ribuan orang berkumpul setiap hari Minggu selama 40 tahun untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya.

Dengan tulisan pendek ini, saya hendak memperkenalkan seorang perempuan yang jarang kita dengar namanya, namun yang pengaruhnya begitu besar terhadap Spurgeon.

Ketika berumur 15 tahun, Spurgeon menjadi guru piket (usher) dan pelajar di Newmarket, Cambridgeshire. Di sanalah, menurut pengakuannya, ia mendapat pelajaran teologi pertama dari seorang perempuan tua penganut 5 pokok Calvinisme ala Baptist ketat bernama Mary King.

Yang mengagumkan, Mary King, dipanggil juga ‘the cook,’ sebenarnya hanya seorang pembantu dan tukang masak di sekolah Newmarket. Meski begitu ia memiliki pemahaman Alkitab yang menyeluruh. Pelajaran teologi ia peroleh terutama dari The Gospel Standard (mungkin sebuah jurnal Kristen) yang ia baca secara teratur.

Seperti telah saya katakan di atas, tak banyak orang mengenal Mary King. Saya pun baru menemukannya belakangan ini. Namun demikian, pengaruh Mary King terhadap kehidupan pelayanan Spurgeon tak dapat dianggap kecil. Cobalah baca apa yang dikatakan Spurgeon sendiri mengenai Mary King:
She liked something very sweet indeed, good strong Calvinistic doctrine, but she lived strongly as well as fed strongly. Many a time we have gone over the covenant of grace together, and talked of the personal election of the saints, their union to Christ, their final perseverance and what vital godliness meant; and I do believe that I learnt more from her than I should have learned from any six doctors of divinity of the sort we have nowadays.
Spurgeon percaya bahwa pelajaran teologi yang ia dapati dari Mary King lebih banyak daripada yang mungkin ia peroleh dari 6 doktor teologi sekalipun. Tidakkah ia luar biasa?

Mungkin kita pernah merasa minder dan berkata, “Ah, siapalah saya hanya seorang awam.” Kita merasa inadequate untuk mengajar orang lain. Kita kan bukan pendeta. Kita tidak terpelajar. Kita tak pernah mengecap pendidikan teologi formal. Dan masih banyak excuses lain yang bisa kita daftarkan di sini. Sebagian dari daftar itu tentu saja ada benarnya. Memang benar bahwa kebanyakan kita tidak berpendidikan teologi formal. Benar juga bahwa sebagian dari kita hanya tamatan high school. Tapi siapa bilang seorang tamatan high school tak pantas bicara teologi. Siapa bilang seorang yang tak berpendidikan teologi formal mesti tutup mulut dan tak usah peduli pada urusan-urusan doktrin. Apakah teologi telah menjadi monopoli kaum elit?

Di Kisah Para Rasul pasal 18 ada pasangan suami istri bernama Akwila dan Priskila. Ingat, mereka pun bukan kaum terpelajar. Mereka hanya pengusaha tenda yang sehari-harinya berurusan dengan transaksi dagang, order, berbagai jenis kulit, dan material tenda lainnya. Namun demikian, status dan pekerjaan sehari-hari mereka tak lantas membuat mereka terbelakang dalam soal-soal doktrin Kristen. Lukas, penulis Kisah Para Rasul, dengan lugas mengatakan bahwa Priskila dan Akwila mampu menjelaskan Jalan Tuhan dengan lebih akurat (lihat ayat 26; terjemahan yang lebih baik dari kata Yunani ‘akribesteron’ adalah secara lebih akurat, bukan seperti LAI menerjemahkannya ‘dengan teliti.’) ketimbang Apolos melakukannya. Padahal Apolos adalah seorang terpelajar dari Alexandria - Mesir, seorang yang sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci.

Kalau begitu, teologi, doktrin Kristen, akurasi, kebenaran seharusnya tak lagi kita pandang sebagai urusan dan tanggung jawab pendeta dan teolog tetapi juga urusan dan tanggung jawab kita bersama. Doktrin gereja mestinya menjadi concern setiap orang yang mengaku percaya pada Yesus Kristus.

No comments:

Post a Comment