Monday, November 8, 2010

Berkhotbah dengan air mata

Kemarin, ketika menyampaikan khotbah, saya menangis. Air mata saya mengalir cukup deras. Pernah dulu, kira-kira tiga tahun silam, saya mengalami hal yang sama. Saya merasa sangat vulnerable, namun Firman Tuhan memberikan assurance. Saya merasa tak pantas melayani, namun Tuhan masih sudi menerima saya. Perlakuan semacam dan kesadaran tersebut tak dapat saya elakkan benar-benar menggetarkan hati. Saya terharu. Saya menangis.

Kali ini terjadi ketika dalam khotbah saya tiba pada sebuah point bahwa orang-orang kepercayaan Tuhan sesungguhnya sangat dikasihi, dihargai, dan dipercayai-Nya. Problems yang saya hadapi belakangan membuat saya jatuh pada apatisme. Saya menjadi sombong, merasa benar sendiri. Saya lupa diri. Tapi kemudian saya teringat kawan saya, Karl Lin, yang walau telah berusia 60 tahun masih bertekad keras untuk melayani jemaat Tuhan dengan segenap hati, apapun tantangan yang ia hadapi, diperlakukan kasar dan tak pantas oleh orang-orang di gerejanya, ia masih berusaha memperlihatkan sikap Kristus yang lemah lembut, dan memandang pekerjaan pelayanan sebagai pekerjaan yang amat luhur. Ia berkata pada saya, “Ketika kita berkhotbah, Tuhan sedang memakai kita. Ingat itu! Ketika itu tiada pribadi yang lebih penting dari pada Tuhan sendiri.”

Jika Karl memiliki high view mengenai pelayanan, bagaimana dengan saya sekarang? Bagaimana pula dengan teman-teman saya di gereja ini, apakah mereka masih memiliki kekaguman dan keseriusan yang ada pada Karl? Perasaan gagal namun masih diberi kesempatan, haru akan kesabaran dan kasih Tuhan, menyebabkan air mata saya malam itu tak tertahankan lagi.

No comments:

Post a Comment