Wednesday, November 17, 2010

Keluhuran dalam penderitaan

Eugene kembali mengingatkan saya akan betapa pentingnya penderitaan dalam kehidupan Kristen. Baca sub-bagian Dignity dalam pasal III Five Smooth Stones for Pastoral Work.

“Suffering is an event in which we are particularly vulnerable to grace, able to recognize dimensions in God and depths in the self. To treat it as a ‘problem’ is to demean the person” (p. 139).

Kebanyakan dari kita melihat penderitaan sebagai masalah untuk dipecahkan, untuk diperbaiki, untuk dicari jalan keluarnya. Kita menghargai solusi cepat. Bukankah di mana-mana orang berpikir seperti itu? Dokter mana yang mampu memberikan obat manjur, begitu dimakan seketika sembuh, ia yang kita cari. Kalau perlu, saking cepatnya, hingga kita tidak ingat lagi bahwa kita pernah menderita. Ide dasarnya adalah buat penderitaan pergi secepat-cepatnya, tinggalkan segera, sudah itu lupakan. Pertanyaannya, apakah itu nyata? Cobalah pikirkan ulang, apakah benar duka lara seorang yang barusan kehilangan kekasihnya bisa dikelola seperti mengelola sebuah perusahaan? Jangan-jangan hari ini Gereja lebih mengenal teknik manipulasi ‘grief management’ ketimbang berusaha untuk saling menanggung beban satu sama lain, ketimbang melatih kesabaran (longsuffering). Seriuskah kita menanggapi penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita?

Terima kasih pada Eugene yang mengajak saya kembali pada Ratapan, sebuah kitab yang agaknya ‘neglected’ bagi banyak Kristen. Dalam kitab tersebut penderitaan justru dipandang sebagai pengalaman yang luhur. Penderitaan dihadapi, ditemui. Ratapan tak mau memberikan kita jalan keluar, ia juga tak berpretensi untuk ‘membantu’ kita; sebaliknya, ia mengajar kita untuk meresponi penderitaan sebagai sesuatu yang signifikan. Ratapan tak mengizinkan kita mengambil sikap ‘hanya numpang lewat’ terhadap penderitaan, karena ketika itu kita sedang mengalami kemuliaan Kristus yang nampak pada salib-Nya. Ingat Injil Yohanes, di salib Yesus diangkat, ditinggikan, diagungkan. Tentunya berhadapan dengan Kristus mahamulia, kita tak sudi pergi cepat-cepat. Jika kita, pelayan-pelayan gerejawi, memahami hal ini dengan baik, saya percaya tanggapan kita terhadap penderitaan orang lain akan berbeda dari yang dunia ini tawarkan. Kita mungkin akan kurang berbuat (do less), tetapi akan lebih menjadi (be more). Dengan kata lain, dalam pelayanan kita akan lebih menghargai si penderita.

“By rooting the pastor in a way of taking suffering seriously, it encourages the ‘longsuffering’ of pastoral work, gives meaning and dignity to the person who suffers, and leaves the healing up to God in Christ on the cross” (p. 141).

2 comments:

  1. Seperti banyak kita lihat bahwa kekristenan sendiri seringkali berkembang di tempat dimana adanya penderitaan yang membuat umat semakin bersatu dan berharap kepada yang Maha Kuasa.

    Tetapi saya pikir pertanyaan yang perlu kita renungkan secara pribadi adalah, "Apakah saya harus menderita untuk dapat mengalami Tuhan?"

    Keep writing Ps. Agus.

    ReplyDelete
  2. thanks for your comment, ps ronald. yes, i'm trying to keep doing it. god willing, i will do it every day, or at least once a week. may god bless your ministries, pastor. your works for god's people there are so precious.

    kalau boleh meresponi pertanyaan pastor, apakah harus? mungkin tidak ya. dalam duka maupun suka seharusnya kita dapat mengalami tuhan. namun memang penderitaan membuat kita begitu vulnerable di hadapan tuhan, sehingga mungkin saat-saat itu lebih sering dipakai tuhan untuk mengubah kita.

    my two cents,
    as

    ReplyDelete