Friday, September 16, 2011

Kumpulan cerpen banget (2)

Sehabis nonton face-off
Ada seraut wajah di wajahku yang tak kukenal.

Nasib seorang penggosip
Kata-kata yang keluar dari mulutnya menjelma ular beludak yang kemudian memagut lehernya sendiri.

Ziarah ke makam seorang computer geek
Pada batu nisannya terukir: norman van beek, fatal error occured, 1978-2010.

Cermis (Cerita Misteri)

Soeti
Ia merasa amat kehilangan sahabatnya, Soeti, yang baru meninggal akibat bunuh diri. Malam itu ia memijit nomornya pada ponsel.
Halo, Soeti…?
Ya.
Dan mereka pun ngobrol sampai pagi.

Mimisan
Darah menetes dari hidungnya yang mungil. Mula-mula hanya berupa butir-butir merah jatuh menitik. Tapi lama-kelamaan darah itu mengalir dengan deras hingga memenuhi setiap sudut rumahku, menembus ke luar hingga ke jalan-jalan. Dalam sekejap saja kota Etobicoke tergenang darah. Maka Ia pun berenang-renang kegirangan.

Senyum-senyum
Putriku duduk tegak di kursi lab
Menunggu jarum suntik menembus kulitnya
Akhirnya, Cus… darahnya mengalir masuk ke botol
“Oh, my dear, she is smiling,” kata tukang suntik itu.

Aku bertanya:
Kok kamu senyum-senyum sih, emang nggak sakit?
Nggak tuh.

Lalu ia menggigit jari manisnya sendiri
Mengunyahnya seperti sedang makan permen karet
Hingga tinggal separuh, Ia masih saja senyum-senyum.

Kumpulan cerpen banget (1)

Termangu menatap senja
Ia hanya bisa berharap kalau suatu hari tunangannya pulang, amplop berisi senja itu dapat ia tunjukkan padanya.

Pengunjung Gereja
Lelaki culun itu duduk di paling pinggir baris ketiga dari depan. Tertunduk saja seperti sedang membaca sesuatu. Namun setiap kali pengkotbah itu membuka mulutnya menebar kata-kata, ia menangis, dan air matanya coba dihapusnya dengan sapu tangan kumal yang ditarik dari saku bajunya. Di tengah kotbah ia berdiri dari tempat duduknya, lalu pergi keluar begitu saja. Jalannya terseok-seok dan sejak itu aku tak pernah melihatnya lagi…

Mustang
Mobil mustang berwarna hitam yang diparkir di samping mobilku itu selalu bersih dan mengkilap even di musim salju seperti ini. Kemarin kulihat pemiliknya dengan senyum yang angkuh – bibirnya dimiringkan – masuk ke mobil itu. Pergi entah ke mana. Kira-kira pukul 11 pagi, aku ngintip ke luar lewat jendela. Jalan di depan rumah becek oleh salju yang sebagian lumer dan bercampur tanah. Dan mobil-mobil yang nongkrong di tempat parkir depan rumahku kotor-kotor, the kill and the kummel semuanya. Tak lama kemudian, mobil mustang berwarna hitam itu datang. Kulihat putaran roda-rodanya menepak-nepak lumeran es di jalan. Tapi aneh sekali. Mobil itu tetap bersih dan mengkilap.

Protes
Pernah terjadi di salah satu hari di musim panas tahun lalu, buku-buku dalam rak bukuku melakukan protes. Mereka tak mau lagi diambil lebih-lebih dibaca. Ada yang selalu menghindar ketika mau ditarik. Ada juga yang sengaja menjatuhkan diri ke lantai. Untuk mencari jalan keluar, aku menawarkan jalur dialog. Pakai teknik mendengarkan dan empati yang pernah kupelajari di kampus dulu. Akhirnya aku tahu, permintaan mereka sebenarnya tidak aneh-aneh: cinta yang tak bersyarat.

Makan kitab ini
Sang rasul memandang kitab itu cukup lama. Suara malaikat: makanlah dia! Pelan-pelan ia memamahnya, mulai dari halaman pertama hingga akhir, habis tak bersisa. Lalu sambil menahan serdawanya, ia pun bertanya, “bisa nambah nggak?”

Poem (1)

Gambar hati di langit
Langit membangunkannya dari tidur.
Saat itu langit begitu putih bagai selembar kertas.
Tak lupa ia memungut pinsil dari bawah meja belajarnya,
menggambar sepotong hati.
Itulah sebabnya sampai hari ini ada gambar hati di langit.

Tiga puluh lima tahun kemudian
Kucari gambar hati di langit yang pernah kuukir dulu. 
Ah, kau masih juga di sana.  

(2010)

Preman

Selama ini saya mengira bahwa preman hanya bisa dijumpai di inner city, daerah-daerah gelap, atau penjara-penjara. Setidaknya itu image yang terbentuk pada saya. Tapi saya keliru. Para preman ternyata juga suka ngumpul di rumah-rumah ibadah. Penginjil Lukas pernah mencatat hal itu. Coba Anda baca buku Kisah Para Rasul 6:9. Di sana ada kelompok orang yang dipanggil Libertini, orang-orang dari Kirene dan dari Aleksandria. Terjemahan lain dari Libertini ialah freedman, atau free man yang dalam bahasa Indonesia dibaca preman. Apakah kelakukan preman dalam konteks Kisah Para Rasul sama dengan kelakuan preman yang saya sebutkan tadi? Tentu saja berbeda. Akan tetapi, jika kita memperbandingkan mereka dari segi mentalitas dan kelakuan, maka hasilnya tak akan jauh berbeda. Mereka tak segan-segan menghasut, mengarang cerita bohong, mengadu domba, merusak nama baik orang lain.

Dalam pengalaman saya berjemaah, saya pun menjumpai preman-preman berkeliaran dalam gereja. Sempat ketika saya melayani di salah satu gereja, seorang yang setahu saya anggota lama menyambut saya dengan ramah, kemudian menceritakan keburukan-kelemahan pendetanya sendiri. Mula-mula saya merasa tersanjung, kok ia sudi berbagi rasa dengan saya? Siapa tahu saya bisa menjadi hero di sini, bisa memperbaiki keadaan, dst. Tapi syukurlah saya keburu sadar. Jika saya ladeni ia, hubungan saya dengan pendeta tersebut bisa retak. Saya tengah diadu domba. Preman-preman berbaju religius* ini pun saya temui di rapat-rapat Majelis Jemaat. Memang mereka tidak menodong, merampok, atau memeras orang lain. Ya, tak sevulgar itu atuh. Mereka hanya menebar sedikit kebencian pada orang-orang yang ingin mereka singkirkan. Mereka masih menceritakan kebenaran kok, meski hanya sepotong. Ada juga dari mereka yang berani membisikkan ancaman, kadang-kadang malah sogokan. Jadi, dari penampilan luar saja, kita tak akan segera mengenali kepremanan atau kebanditan mereka. Boleh jadi, mereka amat menawan serta membujuk hati. Karena itu, meminjam kata polisi bertopeng di salah satu program tivi Indonesia: Waspadalah! Waspadalah!

Nyamuk gergasi




















Memandangi hijau rumput yang baru diguyur air,
yang berkilapan oleh sorot cahaya mentari pagi,
membuatku teringat kisah menjelang tidur yang dulu
sempat kau sampaikan.

“Di sana, di dunia serba hijau,
hiduplah nyamuk-nyamuk gergasi…”

Dan belum apa-apa aku pun sudah mulai bergidik.

“Kau tahu aku tak pernah suka pada nyamuk,
apalagi yang namanya nyamuk raksasa. 
Apa mereka suka makan orang?”

Nyamuk-nyamuk itu untungnya tak menggigit atau
menghisap darah siapapun.
Hanya terbang lepas,
menclok sana, menclok sini,
di spot rumput kesukaan mereka.
Biasanya memang mereka memilih yang hijau, 
lebat dan padat seperti karpet.

Pada suatu senja aku memberanikan diri
mendekati salah satu dari mereka.
Ia nampak sibuk dengan sesuatu.
Aku mencoba menyorongkan kepala lebih dekat padanya.
"Seperti apa sih rupanya," batinku.
Tiba-tiba saja, tanpa memberi aba-aba, ia menengok.
Aku kaget setengah mampus.
Matanya yang menjorok keluar itu mengamat-amati 
dari ujung rambut sampai ujung kukuku.
Lalu untuk alasan yang tak sempat kulacak,
dan seolah mendapat kepuasan,
ia memberi senyumnya padaku. "What's that!?"
Kau tahu, dan dunia tahu, bahwa 
nyamuk tak punya bibir; nyamuk itu monyong.
Bagaimana bisa ia tersenyum?
Meski begitu, ia telah melakukannya.
Barangkali ia satu-satunya yang bisa. 

Kuakui sejak itu aku merasa akrab dengannya.
Sekat-sekat yang pernah memisahkan kita
gugur satu demi satu.

Ia mengajakku pergi berkenalan dengan kawanannya.
Pergi bersamanya ke suatu tempat yang tak kukenal,
yang bahkan tak pernah mampir dalam mimpi-mimpi malamku.
Luapan bahagia membasahi sekujur tubuhku.
Tak terasa aku pun menjelma nyamuk gergasi
yang sanggup terbang jauh dan lepas.
Dan bersama mereka
kujelajahi dunia yang baru,
dunia serba hijau.

Celaka dua belas!
Aku lupa memberitahu istri dan anak-anakku akan kepergianku ini.

Wednesday, September 14, 2011

Hentikan komoditisasi gereja!



















Gereja-gereja di manapun berada harus mendengarkan baik-baik seruan profetik Brueggemann ini. Kehadiran kita di dunia akan membawa berkat atau tidak, patut diperhatikan atau tidak, akan turut ditentukan oleh kelakuan kita dalam bergereja dan bermasyarakat. Apakah yang sedang kita karyakan saat ini sekadar buat unjuk kuasa, pamer kekayaan, main retorika atau sungguh merupakan upaya menunaikan tugas ibadah kita kepada Yahweh, yakni melaksanakan keadilan?

Mari bersama kita hentikan komoditisasi agama/gereja! Sebaliknya, majukanlah kesejahteraan rakyat di mana kita berada!

Faith with a price
Walter Brueggemann
The Other Side, July/Aug 1998.

Tuesday, September 13, 2011

Kiprah dan kehidupan sehari-hari John Stott

Artikel dari John Yates mengenai kiprah John Stott - warisan kerendahan hati dan pelayanan yang patut kita kenang dan teruskan pada generasi kita selanjutnya.

Pottering and Prayer 
As John Stott turns 80, he still finds weeds to pull, birds to watch, and petitions to make 
John W. Yates III 

That first morning, as I walked into John Stott's bedroom (my office during daylight hours), I found his 10-page, handwritten manuscript on my desk with a note: "This is an interview for a book written for single people in their 20s. Could you give me your feedback on what I've said, and suggest any changes to make it more interesting or relevant?" Not certain the thoughts of this 21-year-old were of any value, I nevertheless carefully read through the manuscript and listed several suggested additions, deletions, and modifications. The next morning, there again on my desk was the manuscript and a note: "What do you think now?" The interview had been rewritten—and every single suggestion employed. Britain's world-renowned, 75-year-old writer and teacher had consented to every piece of advice from a recent college graduate on his first day of work.

Berkebun itu sehat





















Wendell Berry dalam bukunya The Art of the Common Place menulis:
Only by restoring the broken connections can we be healed. Connection is health. And what our society does its best to disguise from us is how ordinary, how commonly attainable, health is. We lose our health – and create profitable diseases and dependencies – by failing to see the direct connections between living and eating, eating and working, working and loving. In gardening, for instance, one works with the body to feed the body. The work, if it is knowledgeable, makes for excellent food. And it makes one hungry. The work thus makes eating both nourishing and joyful, not consumptive, and keeps the eater from getting fat and weak. This is health, wholeness, a source of delight. And such a solution, unlike the typical industrial solution, does not cause problems. 
Telah lama saya tidak bergaul dengan tanaman di rumah. Dua hari ini saya mulai bersentuhan lagi dengan mereka, berdoa bersama, bermain dengan rumput, tanah, dan air. Kesibukan seringkali menjadi alasan yang saya buat-buat untuk tak memedulikan diri saya sendiri dan ciptaan Tuhan.

Jika Tuhan menghendaki dan memberkati, saya ingin bisa melakukan gardening secara rutin. Setuju dengan Berry, pengalaman berkebun memberikan saya re-connection dengan tumbuh-tumbuhan, dengan siklus alami kehidupan. Saya dapat merasakan kembali betapa satunya diri saya dengan tanah. Mungkin itu sebabnya Alkitab menulis bahwa kita dicipta dari tanah dan akan kembali padanya.

Saya tidak tahu pasti apakah dengan melakukan tugas ini secara disiplin, saya akan menjadi lebih sehat dari sebelumnya atau tidak, tapi rasanya the chances are good. Living and eating, eating and working, working and loving. Maukah Anda ikut mencoba?

Thursday, September 8, 2011

Kerendahan hati yang tidak perlu dibuat-buat

Kita tahu dari pengamatan sehari-hari bahwa kerendahan hati tak selalu genuine; ada yang dibuat-buat. Kita juga tahu orang besar, terkemuka, tak mudah rendah hati. Katanya, orang besar tidak mengurus hal-hal kecil dan sepele. Orang besar hanya peduli hal-hal besar.

Tidak begitu dengan John Stott. Ia baru saja pulang ke rumah Bapa surgawi pada 27 Juli yang lalu. Namun warisan yang ia tinggalkan takkan lenyap bersama dengan kepulangannya. Satu dari sekian banyak warisan Uncle John yang akan saya kenang sepanjang masa ialah kerendahan hatinya. Kesaksian pendek di bawah ini saya temukan somewhere dialami oleh Rene Padilla, seorang teolog Amerika Latin.

On the previous night we had arrived in Bariloche, Argentina, in the middle of heavy rain. The street was muddy and, as a result, by the time we got to the room that had been assigned to us our shoes were covered with mud. In the morning, as I woke up, I heard the sound of a brush—John was busy, brushing my shoes. "John!," I exclaimed full of surprise, "What are you doing?" "My dear RenĂ©," he responded, "Jesus taught us to wash each other's feet. You do not need me to wash your feet, but I can brush your shoes."

Hari ini makin banyak gereja-gereja Evangelical melakukan washing feet sebagai kegiatan simbolik. Saya berharap kegiatan tersebut tak berhenti pada ritualisme belaka melainkan berlanjut menjadi layanan nyata bagi orang lain. You do not need me to wash your feet, but I can brush your shoes. . . I can share my food with you, I can help you through these challenges, and so on.