Thursday, December 23, 2010

Deep Christmas

















Para kudus yang kekasih,

Pada Natal tahun ini, mari kita merenungkan kembali cerita kelahiran Yesus yang telah kita akrabi semenjak kita menjadi Kristen. Teksnya saya petik dari Lukas 2: 8-20.

Sekelompok gembala di pinggir bukit Yudea tengah menjaga kawanan ternaknya pada waktu malam. Tiba-tiba malaikat Tuhan berdiri di hadapan mereka, dan kemuliaan Tuhan bersinar melingkupi mereka. Lalu malaikat itu mulai mewartakan Injil. Setelah ia selesai bicara, langit malam diguyur oleh cahaya kemuliaan. Pertama-tama satu malaikat datang, kemudian datang yang lain dan yang lain lagi, sampai sejumlah besar bala tentara surga berkumpul. Bersahut-sahutan mereka memuji Allah. Gloria in excelsis Deo.

Hari ini di gereja-gereja dan tempat-tempat pertunjukan, orang-orang yang mengenal dan mencintai cerita ini akan berupaya menayangkan lagi cerita ini, dan hasilnya, dibandingkan dengan yang asli, akan nampak tidak ada apa-apanya. Segala usaha kita untuk menampilkan apapun yang terjadi pada gembala-gembala malam itu akan nampak lemah dan kecil.

Annie Dillard pernah berkata, “Jika anda mengirimkan para gembala sebuah kartu natal di mana tercetak foto berukuran 3 x 3 malaikat Tuhan, kemuliaan Tuhan, dan sejumlah besar bala tentara surga, mereka tak bakal mengalami ketakutan.”

Mungkin ia benar, tapi jika kita perhatikan baik-baik, Lukas memang tidak berusaha mendeskripsikan kejadian yang menakjubkan itu. Buktinya, ia tak mencoba menjelaskan bagaimana penampakan malaikat-malaikat itu, berapa banyak mereka, apa persisnya yang malaikat-malaikat itu lakukan di langit biru. Ia bahkan tak berkomentar apa-apa mengenai ekspresi bayi Yesus. Mungkin ia enggan membicarakan hal-hal tersebut, meski kita merasa penasaran ingin tahu. Yang kita baca dalam Injil Lukas adalah respon-respon dari orang-orang yang terlibat. Sebagai contoh, gembala-gembala “sangat ketakutan,” tapi kemudian pulang dari Betlehem dengan “memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat.” Orang-orang yang mendengar berita itu “heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu.” Tetapi Maria “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.”

Saya percaya alasan Lukas tidak mendeskripsikan kejadian spektakuler itu dalam Injilnya adalah karena ia menyadari betapa miskin dan terbatas bahasa dan usaha manusia untuk menghadirkan kemuliaan Tuhan. Pertunjukan Natal dengan Christmas carols dan concert yang gegap gempita hanya akan meninggalkan sebuah kesan meriah minus satu hal, yaitu kemuliaan Tuhan. Ironisnya, usaha mereplika momen penuh kemuliaan itu malah menguras misteri yang terkandung di dalamnya. Mata kita penuh dibuatnya, namun hati kita tetap kosong.

Maka Lukas mengalihkan pandangan kita dari cahaya kemuliaan itu ke wajah-wajah mereka yang diterangi olehnya. Mengapa? Karena kita baru bisa melihat cahaya itu dengan lebih baik ketika kita tak mencoba melihatnya secara langsung. Dengan melihat wajah-wajah yang merefleksikan cahaya kemuliaan itu, Lukas ingin kita bisa menemukan wajah dan hati kita sendiri terpantul di sana, sekali lagi dipenuhi dengan keheranan, lalu memuliakan dan memuji Allah pada Natal tahun ini untuk segala sesuatu yang kita alami karena Yesus Kristus telah lahir malam itu. Dengan kata lain, Lukas tak mau membuat kita terpukau oleh ketinggian cerita ini; sebaliknya, ia mengundang kita untuk menggali kedalamannya bagi diri kita sendiri.

Selamat memperingati kelahiran Yesus, Tuhan kita!

Pdt. Agus Sadewa

[Sumber: Thomas G. Long (1996) berjudul “Shepherds and Bathrobes” dalam buku Something is about to happen…: Sermons for Advent and Christmas.]

No comments:

Post a Comment