Friday, October 29, 2010

Fluant lacrimae, sed eadem et desinant!

Setelah sekian lama mengeram tanpa menghasilkan apa-apa, rasa rindu menulis tak dapat saya tolak lagi. Saya membuka kitab Five Smooth Stones For Pastoral Work karya Eugene Peterson, dan menemukan baris-baris ini.

Lamentations provides a model for dealing with this sense of endlessness in suffering by putting the suffering within the frame of the acrostic. There is a countable, alphabetical scheme - so that when you are at A, you know that Z is, even though a long way off, still there, and that will end the series. The acrostic framework of Lamentations gives a context to the suffering which has boundaries. A sense of finitude is communicated by indirect, nonverbal, means. Fluant lacrimae, sed eadem et desinant! - let the tears flow, but let them also cease! [p. 123]

Bentuk akrostik dalam buku Ratapan oleh karenanya membantu pastors melayani mereka yang sedang menderita dengan memberikan kerangka kerja, atau framework, dan dengan demikian mengingatkan mereka yang kita layani bahwa penderitaan tak eksis untuk selamanya. Maka pastors perlu memerhatikan timing. Harus ada saat kita memberikan ruang seluas-luasnya kepada orang yang berduka untuk bertutur mengenai kedukaannya. Tapi kesempatan ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bukan karena pastors banyak urusan dan tuntutan lain, tapi karena penderitaan dan kedukaan harus diberi batasan, harus ditaruh dalam skema. Dengan kata lain, harus ada kata 'cukup' dalam konseling pastoral.

Baiklah saya akhiri post ini dengan sekali lagi mengutip Eugene, "Evil is recognized and bravely faced, but it is not permitted to become an obsession." [p. 124] Kejahatan harus dikenali dan dihadapi dengan berani, namun tak boleh ia diizinkan menjadi obsesi.

No comments:

Post a Comment